
Sebuah Kenangan Seorang Alumni
Oleh : RifaiBig
Sudah empat tahun Rois tidak menginjakkan kaki di sini, terakhir kali bangunan paling barat masih mempunyai dua lantai yang dindingnya belum diplester dengan sempurna, sekarang bangunan tersebut sudah memiliki tiga lantai dengan kubah berwarna hijau yang menjulang tinggi di atasnya. Perubahan juga terjadi pada gedung timur, saat terakhir kali lantai pertama belum mempunyai keramik, masih digunakan untuk parkir sepeda, dan sekarang sudah menjadi aula utama yang megah untuk digunakan setiap acara.
Selain bangunan barat dan timur, bangunan utama juga berubah. Bangunan utama ini merupakan tempat tinggal Pak Kiai dan seluruh keluarga ndalem. Terakhir kali Rois melihat bahwa dinding masih dicat dengan warna putih, sekarang penuh dengan warna biru bak lautan yang luas dengan dihiasi pigura kaligrafi bertulis “Darul ‘Ilmi” Dalam bentuk tulisan Arab. Ya, tempat ini adalah Pondok Pesantren Darul ‘Ilmi yang ditinggali Rois untuk mencari ilmu agama empat tahun lalu. Hampir Delapan tahun Rois menimba ilmu di sini, sudah banyak teman yang dikenalnya sejak mulai mondok pada tahun 2000 silam.
Di ruang utama gedung utama rois duduk sambil memandangi lemari yang berisi kegiatan-kegiatan yang diabadikan dalam pigura kecil, Rois menebak berbagai kegiatan yang ada di foto tersebut sambil menunjuk “Itu pasti Pengajian Akbar, yang itu pasti Sarasehan, dan sudah pasti itu Gebyar Maulid Nabi Muhammad” berbagai agenda tahunan yang dikenalnya selama mondok di sini.
“Itu bukan Sarasehan, itu Dialog Nasional tahun lalu bersama Pak Menteri Agama” Sahut Pak Kiai dari depan pintu yang berada di ruang utama yang langsung menyambung ke ruang khusus keluarga ndalem, sontak Rois langsung menghentikan kegiatannya menebak-nebak foto yang ada di ruang tersebut.
“Dirimu terlalu lama gak mampir ke pondok kang, banyak acara yang sudah mengalami inovasi di sini” jelas Pak Kiai dengan memegang rokok ditangan kanannya. “Nggih Pak Kiai. maaf, baru bisa ke Jawa tahun ini” Rois memang bekerja di luar Jawa dan tidak memungkinkan untuk pulang ke Jawa setiap tahun.
Obrolan Rois dengan Pak Kiai berlangsung sangat asik sampai jam menunjukan pukul 5 sore. “Persiapan sholat maghrib kang” perintah Pak Kiai pada Rois, Rois pun paham bahwa ini adalah hari Kamis santri libur ngaji sore dan biasa diisi dengan para santri berolahraga, kalau dirinya tidak mau antri untuk mandi dia harus bergegas karena menjelang Maghrib banyak santri yang sehabis olahraga pada antri mandi.
Kamar mandi terletak di gedung timur selatan lantai satu. Sudah ada beberapa santri yang antri untuk mandi dengan handuk di pundak mereka, sabun dan sekawannya ditempatkan dalam tepak kotak kecil yang kebanyakan berwarna hijau. Kamar mandi ini tidak berubah sedikitpun. Berisi lima ruang yang bisa digunakan untuk mandi sekaligus buang air besar, tempat duduk sepanjang tiga meter tersedia untuk tempat mengantri.
Rois duduk untuk mengantri, diingatnya dulu tempat duduk ini bukan hanya untuk mengantri, tapi juga untuk saling bertukar sapa, bertukar informasi tentang hal akademis, keluarga, bahkan orang yang sering membuat hati merona. Sekarang, di antara semua santri yang sedang mengantri tidak satupun Rois mengenal wajah mereka. Rois meninggalkan pondok ini tergolong paling akhir dari teman teman seangkatannya, sehingga wajar jika sudah tidak ada lagi wajah yang dikenalnya di pondok ini.
“Kang, ndang kang sing antri akeh kiye” teriak salah satu santri dengan gaya ngapaknya sambil menggedor pintu kamar mandi satu persatu. Dulu rois juga seperti itu, baik di posisi yang digedor ataupun menggedor pintu. Disaat rasa buang air besar sudah di ujung tanduk dan lima kamar mandi terisi semua maka dengan gedoran diharapkan dapat mempercepat salah satu pintu terbuka dengan cepat.
Sambil menunggu adzan maghrib Rois menatap pemandangan di lantai tiga gedung timur, pemandangan gunung dan atap rumah dapat terlihat dari sini. Di lantai ini juga dulu kamar Rois berada. Kamar yang dijuluki kamar gubuk karena terletak di lantai paling atas, berukuran 4X5 m² dengan hanya beratapkan asbes. Apabila hujan turun sudah dapat dipastikan air selalu masuk kedalam kamar, dan apabila hari sedang terik orang di dalam kamar akan seperti kue yang dipanggang dalam oven. Sekarang, kamar gubuk cuma menjadi legenda, sudah diratakan dan dibuat tempat untuk menjemur pakaian, sebagai ganti tempat jemur yang dulu dibangun menjadi kamar yang lebih layak.
Kamar yang menjadi saksi bisu perjuangan di pondok ini memang sudah tiada, tapi tidak dengan kenangannya. Rois masih ingat dengan kelima teman sekamarnya dulu, Ali, Fahmi, Rizki, Rohim serta Roki. Mengingat mereka tentu juga mengingat beberapa hal seperti, piket bersih kamar, piket ambil nasi, piket beli gorengan, tak lupa piket mengisi ulang air galon. Piket dibuat untuk kenyamanan bersama.
Hal paling mengenang bagi Rois tentu adalah piket ambil nasi dan membeli gorengan, bagaimana tidak, dengan piket ini dia menjadi sedikit banyak paham dengan karakter masing masing teman sekamarnya. “Gorengan opo iki ndang, list” Mantra yang diucapkan Rois ketika akan berangkat setiap piket diucapkan dengan nada yang tinggi dan suara yang keras seperti biasanya.
“Mendoan satu kang” Ali yang biasa menjawab pertama, dari Ali, Rois belajar tentang apa itu kesabaran dan menerima apa adanya serta belajar tentang keistiqomahan. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari, mau siapapun yang piket Ali akan memesan hal yang sama, yaitu mendoan satu. Sebenarnya tanpa dia menjawab pun orang yang piket pasti akan tahu apa yang dipesannya.
“Mendoan dua kang” Jawab Rohim, Rohim memang orang yang pasti dan cekatan. Apa yang dilakukan pasti direncanakan dengan pasti dan sedikit masa bodoh dengan hal kecil. Dia selalu berpegang teguh dengan statement “jika hal tersebut tidak berpengaruh kepadamu 5 tahun kedepan maka jangan memusingkan diri lebih dari 5 menit”.
“Beli gorengan di mana kang? jika di Bu Sri aku gak jadi nitip, jika di pak to aku nitip mendoan satu bakwan satu” Rizki memang terkenal sebagai pereview handal, selain hobi mereview makanan di setiap toko yang ada, dia juga mereview kebiasaan orang lain yang sekiranya tidak berkenan di hatinya, tentu review yang dilakukan berdasarkan fakta yang sudah dia kumpulkan sejak lama. Dia juga yang paling tekun dalam hal pelajaran. Mungkin karena dia hobi mereview materi yang ada.
“Tempe goreng ya kang, kalo gak ada telur puyuh aja, jangan bakwan/mendoan, kalorinya banyak hehehe” Rois banyak belajar bagaimana cara hidup sehat tentu dari temannya satu ini, selain istiqomah berolahraga dia juga sangat berhati hati masalah makanan, dia juga punya timbangan makanan untuk menentukan jumlah kalori yang ada di setiap makanan. Sampai sekarang Rois masih heran dengan kebiasaan Fahmi.
“Sama dengan Rohim kang” Roki memang paling tidak ribet diantara yang lain, tapi kalau soal akademis bisa dibilang dia paling encer dan paling bisa memanfaatkan peluang yang ada.
Makan sering dilakukan bersama, membentuk lingkaran kecil. Sering sekali Roki selesai pertama karena tidak terlalu banyak bicara. “Ini mendoannya kok asin tidak seperti biasanya ya, Pak To pengen nikah lagi ya? ” review dari Rizki selalu terdengar setiap kali makan bersama. Obrolan sering dilanjutkan dari awal makan sampai akhir, paling banyak berperan mengambil topik tentu kang review, ditemani dengan Rohim yang memang lumayan mahir dalam berargumen. Ali hanya sebagai pendengar yang tiba-tiba makanannya sudah habis tanpa menyisakan sebulir nasi. Fahmi selalu menjadi yang terakhir karena harus menimbang makanannya, jika sudah mencapai kebutuhan kalori harian dia akan menghibahkan sisa makannya ke Rois karena Fahmi yakin bahwa Rois selalu kurang makanannya.
“Besok kalau sudah keluar dari sini mau pada kemana” Ingatan tentang teman sekamar ini membuat Rois sedikit melamun, dengan tatapan kosong. tanpa disadari matahari sudah terbenam sempurna, capung mulai berganti menjadi burung burung yang terbang kembali ke sarangnya, kicauan burung dibarengi dengan suara adzan maghrib yang mulai berkumandang. Rois bergegas menuju masjid yang berada di lantai tiga gedung barat.
Sholat Maghrib kali ini langsung diimami oleh Pak Kiai, tuju shaf terisi penuh dari selatan sampai utara. Dilanjutkan pembacaan Wirid dan Yasin serta Tahlil. Kebiasaan malam Jum’at masih sama seperti dulu sebelum Rois meninggalkan pondok ini. Rois sadar bahwa waktu memang merubah segalanya, untuk hal yang berubah kenangannya akan selalu ada. Dan untuk hal yang tidak berubah kemuliaannya akan tetap sama.

