Cerpen

Jalan-Nya : Lika-Liku Cinta Sebatas WA

Senja itu serasa cerah, terlihat matahari masih sempat-sempatnya mengucapkan salam perjumpaan sebelum dunia menutupkan matanya. Burung-burung berganti menjadi kelelawar yang bertebaran menghiasi langit. Awan mengganti pakaiannya, yang sebelumnya putih menjadi orange untuk menyambut malam. Angin sepoi-sepoi masih saja memanjakanku di sini, di tempat jemuran pakaian lantai 4 pondokku, Pondok Al-Masyhuriyyah, dengan ditemani tugas-tugas kuliahku yang menghiasi tikar kecil di tempatku mengerjakan tugas setelah mandi tadi.

Namaku Falik An-Nabawi, mahasiswa psikologi yang memakai wajah sekaligus topeng seorang santri. Dan inilah tahun pertamaku menginjakkan diri dengan yang namanya pondok pesantren, di mana ini adalah niatan dari diriku sendiri untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik di samping masa laluku yang bisa aku sebut masa lalu suram.

Tit tit… tit tit…

Ponsel di sakuku berdering, ada WA masuk. Kemudian aku buka, yang isinya.

“Mas Bro…. banguuun, udah ashar belum?” itulah WA dari Ina, seorang calon hafidzoh dari pondok putri yang biasanya membangunkanku. Karena biasanya aku tertidur dan nelat sholat serta masih malas dengan rutinitas pondok.

Dan tak kusangka jika ternyata ada seorang seperti dia yang dengan konsistennya mengingatkanku dalam hal-hal kewajiban agama.

Kuhiraukan WA itu, dan aku teruskan mengerjakan tugas yang hampir selesai.

Tak lama kemudian.

Kriiinggggg….. kriiiiinggggg….. kriiinggggg…..

Terdengar ciri khas dari nada dering tanda panggilanku yang berdering lima kali berurutan. Kesemua dialah yang menghubungi.

Kemudian, Krrinnnngggg…. langsung kumatikan dan kubalas WA tadi.

“Iya Na, aku sudah bangun.”

‘Tit tit… tit tit… ada WA darinya lagi.

“Udah ashar?”

“Belum.” jawab WA-ku singkat, padahal sebenarnya aku sudah ashar.

“Cepet ashar, waktunya sudah hampir habis, nanti juga jangan lupa ngaji Madin ya,” jawab WA darinya yang sepertinya jengkel.

“Hehe… iya-iya, siap komandan” jawab WA-ku agak guyon.

“Bagus” jawabnya singkat. Kemudian kuletakkan handphone itu di tikar sembari melanjutkan tugasku lagi.

Senja mulai menjamahkan dirinya menuju malam, tak berapa lama kemudian tugasku selesai. bertepatan adzan maghrib. Aku bergegas merapikan semua kertas-kertas tugasku dan kumasukkan ke tas, tak lupa juga merapikan tikar yang kupakai tadi. Kemudian aku kembali ke kamarku di lantai 2 yang berisi 5 anak, dan menaruh tas serta tikar di tempat yang telah tersedia.

“Lik… Falik.” panggil Jhony, teman sekamarku.

“Iya, ada apa. Jhon?” jawabku sambil menyambanginya.

“Nanti ga usah Madin ya… wi-fi-an di kampus aja. ustadz-nya yang ngajar nanti enggak enak,” sahutnya dengan antusias penuh penguatan.

“Emang siapa sih?” tanyaku penasaran.

“Pak Alim…” jawabnya singkat.

“Alah… biasanya kamu nggak ikut Madin kan. mendingan keluar yuk!” tambahnya.

“Emm…. kayake enggak deh, aku mau Madin aja, lagian ga enak juga kalo ga pernah Madin, aku juga sudah sering kena hukuman dari pengurus. jawabku untuk mencari alasan untuk ikut Madin.

Ya… aku memang jarang ikut kegiatan pondok, terutama Madin karena selesainya jam 21.00 WIB yang bisa dibilang agak malam, ditambah lagi setelahnya mengerjakan tugas-tugas yang biasanya selesai tengah malam, bahkan sampai pagi. Ditambah lagi aku sedang masa adaptasi.

‘Jebruuuuk’ terdengar papan kamar kami dipukul.

Ternyata Pak Alim yang memukulnya.

“Ayo Kang, maghrib maghrib…!!

Sontak, kami berdua langsung kaget.

“liiiyaa, Pak” jawab kami berdua bersamaan.

“Cepetan! Enggak usah banyak bicara.”

Kami berdua kemudian buru-buru berganti pakaian dan siap-siap ke mushala yang berada di lantai dasar. Selama perjalanan Jhony mengocehkan tentang Pak Alim yang memang terkenal dengan kegalakannya. Kemudian sesampai di tempat wudhu dia membahas tentang nanti memilih wi-fi-an atau Madin.

“Kang, Ayo, Kang… antreannya udah panjang”

Terdengar Kang Suroso menegurku karena tidak segera wudhu, tetapi malah ngobrol tadi.

“liiyyaa, Kang.” jawabku singkat.

Kemudian aku wudhu dan bergegas gabung sholat sebagai makmum masbuk karena telat.

***

Jam dinding menunjukkan pukul 18:35, selesai sudah semua rangkaian kegiatan waktu maghrib mulai dari sholat, dzikir, hingga ngaji sudah selesai

“Boss… makan yuk!” ajak Ahsan, tema sepondokku.

 “Ayok…”

Kami beranjak dari mushala menuju dapur pondok tempat biasa kami mengonsumsi olahan makanan.

“Lik… makannya apa?” tanya Jhonny dari kejauhan, terlihat dia memakai celana jeans seperti ingin pergi keluar pondok.

“Ayam goreng, Jhon…” jawabku sekenanya, padahal sebenarnya hanya sayur sup ditambah gorengan. Sejenak Jhonny berlari menuju arahku yang sudah siap untuk makan. Dia melihat piringku.

Dan… ang ing eng. kobaran semangat sebelumnya terlihat mulai menurun.

“Cuman sup gitu kok,” jawabnya dengan agak kecewa.

“Hahahahaha…. guyon Jhon,” jawabku dengan nada guyonan.

“Emang kamu dah bayar bulanan, Jhon, kok di pikiranmu cuman ayam?” tanyaku mengejek.

“Belum…” jawabnya lirih.

“Hahaha… tuh kan, ingat Jhon jer basuki mawa bea,” jawabku sambil guyon-guyon sedikit.

“Gundulmu kuwi!.” sahutnya.

“Ya udah nanti aku makan di luar aja, tolong titip izin ke Pak Alim ya, bilang aja aku lagi ngerjain tugas,” tambahnya sambil berjalan menjauhi dapur.

“Oke boss… siap, tapi wani piro?” jawabku.

Dia hanya menoleh sembari tersenyum nyengir.

“Lik, kamu enggak ikut keluar juga?” tanya Abdun. teman sepondokku yang makan di sampingku.

“Ah, enggak-lah, waktunya buat taubat haha…” jawabku agak nglucu sambil makan.

“Loh, otakmu itu ketuker toh? Kok pengen taubat segala?” ejeknya.

“Hhahaha.. yok, gitu juga boleh, tapi yang pasti enggak ketuker dengan otak hewan,” jawabku dengan santai.

Memang, di pondok aku sudah terkenal sebagai santri yang terbilang nakal, pemalas, dan suka seenaknya sendiri. Itulah yang membuat aku mempunyai banyak teman di sini, dan bisa guyon yang aneh-aneh.

***

Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 19:00, sudah waktunya untuk sholat isya. Kami semua harus menyelesaikan agenda apa pun terlebih agenda makan rutin selepas maghrib untuk berlanjut sholat isya.

“Lik… ayok sholat!” ajak Sony, teman sekamarku yang tiba-tiba datang di belakangku.

“Siap, ndan!” jawabku dengan semangat.

Semua anak pondok putra berbondong bondong untuk wudhu dan dilanjutkan sholat berjamaah serta diakhiri wirid.

***

Jam 19:30, waktunya Madin. Madin sendiri terdiri dari 5 kelas. Aku masuk kelas 3.

Entah kenapa aku juga bingung kenapa dimasukkan di kelas 3. Padahal ilmuku masih belum seberapa.

Teeeeeettttttttttttttt…. teeeeeeeeeettttttt …. teeeeeeeeeettttttt

Satu dari tujuh suara yang membuat anak pondok yang dibenci kamar santri, yang menunjukkan waktunya untuk Madin. Semua santri maupun santriwati harus di kelas masing masing.

Karena aku kelas 3, di situlah aku bertemu secara tak langsung dengan Ina, wanita yang selalu memperhatikanku tadi.

Menurut banyak warga pondok. memang dia adalah orang yang cantik, pintar, dan juga punya aktif. Tapi, entah kenapa aku merasa biasa saja akan semua anggapan itu. Akan tetapi aku pendapat lain tentang kepribadiannya, sehingga aku cukup tertarik dengannya, apalagi dia juga perhatian di tengah kesibukannya.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” salam dari Pak Alim, yang sontak membuat suasana sebelumnya agak ramai menjadi hening seperti tengah malam.

“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab kami semua dari santri dan santriwati kelas 3.

“Seperti biasa, sebelum pelajaran mulai saya absen dulu,” ucap Pak Alim. Dalam presensi tersebut memang disengaja berurutan sesuai abjad.

Kemudian dipanggillah

“Ben Jhony S.”

Aku langsung menyahut ucapan beliau itu.

“Ngampus. Pak, katanya mengerjakan tugas.

“Loh, kok seingat saya dia alasannya itu terus. memang kuliahnya dia di jurusan apa. Lik?” ucap Pak Alim.

“Jurusan Ilmu Hukum, Pak,” jawabku singkat.

“Ya sudah, nanti dia-nya diberitahu ya, besok pagi suruh menemui saya di sekretariat, kok kalau Madin dengan saya sering tidak masuk,” tambah beliau.

“Iya Pak…” kuucap sambil menganggukkan kepala. Nama dalam absensi satu persatu telah tersebutkan.

Tiba-tiba. “Inayatul Maula!” sebut pak alim.

“Hadiroh, Pak.” sahut Ina dari bilik samping.

Memang, kelas Madin di sekat menjadi dua bilik, antara santri dan santriwati agar tidak tercipta adu pandangan antara santri dan santriwati yang dikhawatirkan menciptakan maksiat.

“Ciyyyeeeeeee Kang Falik,” ucap semua santriwati dari bilik samping.

Sontak dari teman-temanku ngomong hal serupa. Aku hanya bisa tersenyum kecil.

“Sudah sudah… jangan berisik. sudah gedhe kok kayak anak kecil gitu,” ucap Pak Alim.

“Loh, bapak tidak tahu toh, Pak? Kang Falik sekarang menjadi taubat karena Mbak Ina lho!” sahut teman-temanku.

“Loh, iya kah, tapi kalo bisa taubat itu karena niat dari diri sendiri. percuma dong kalau taubat karena seseorang saja, berarti taubatnya tidak lillahita’ala, kan?” jawab Pak Alim.

Sontak mendengar kata-kata itu rasanya seperti ada petir yang menyambar di siang yang cerah. Jlebb! rasanya. Bahkan hingga selesai Madin sampai di kamar aku terpikirkan oleh kata-kata itu.

***

Malam ini aku bebas, tidak ada tugas lagi yang membebaniku lagi, hanya kata dari Pak Alim tadi yang terngiang dan membuatku terganggu serta tidak nyaman.

Jam menunjukkan pukul 22:00, aku pergi ke lantai paling atas untuk menikmati udara malam.

Sambil Youtube-an aku mengirim WA kepada Ina,

“Na… apa kau tadi mendengar kata-kata dari Pak Alim?”

“Iya, Kang. Tapi yang mana ya?” jawab Ina dengan isi WA seperti ingin tahu.

“Tadi, tentang taubat itu lho,” jawabku.

“Oh iya, kenapa? Adakah masalah?” jawabnya. Dan sepertinya dia langsung menyambung dengan apa yang aku pikirkan.

Kemudian aku balas lagi,

Tidak ada, tapi jika kau tau, kata-kata itu sepertinya mempunyai makna yang dalam di alam bawah sadarku, dan itu membuatku tidak nyaman.”

Kutunggu-tunggu jawabnya. Kemudian..

‘Grrrkkk grrkkkk grrkkk’

Getar tanda WA darinya, kemudian langsung kubaca.

“Haha… dibuat santuy aja, Kang. Lagian hal itu tidak akan mengubah kita kan?”

Sepertinya dia tidak terlalu memikirkan tentang masalah tadi, yang dibahas ini. Kemudian kubalas WA tadi,

“Tentu saja itu akan mengubah semuanya.”

 “Maksudnya?” tanyanya. Kemudian aku meneleponnya.

Grkgrkgrkgrkgrkgrkgrkrgk’ handphone Ina bergetar, dan terlihat dengan jelas bahwa Falik lah yang menghubunginya. Secara spontan dia langsung mengangkat pembicaraan lewat telepon itu.

“Hai… kenapa kau menelepon?” tanya Ina.

“Pembicaraan ini tak akan cepat selesai dengan WA, Na,” sahutku.

“Okelah kalau begitu,” jawab Ina.

“Na, Jika kau maknai dengan seksama, taubat karena manusia tiada artinya kecuali hanya dosa, terlebih taubat tersebut bukanlah taubat karena Allah sebagai tujuan, akan tetapi manusialah yang menjadi tujuan. Berarti secara tidak langsung itu bisa saja disebut riya’ kan? Dan dalam konteks ini yang menjadi objeknya adalah dirimu, seharusnya kau menyadari hal itu,” jelasku.

“Sekarang aku tanya kembali. Apakah dan awal niatmu berubah karena diriku ataukah karena niat dari dirimu sendiri untuk lebih dekat dengan Nya?” sahutnya dengan nada lirih.

“Aku bingung menjawabnya, akan tetapi aku berubah menjadi seperti ini karena dirimu, dan itu membuatku ketagihan serta senang untuk kau perhatikan agar aku bisa seolah-olah berubah menjadi lebih baik. Padahal mungkin tidak ada bedanya jika kau tidak ada, dan itu tak mengubah apa pun pandanganku terhadap Allah,” jawabku memberi penguatan dengan nada tinggi kemudian menjadi lirih.

Mendengar kata-kata itu Ina merasa itu adalah bentuk sindiran, dan dia merasa bahwa dirinya hanyalah pelayan yang tak mempunyai arti apa apa.

“Kau sadar tidak dengan kata-kata yang kau ucapkan? Apakah itu pantas untuk kau ucapkan kepadaku?” ucap Ina dengan terbata-bata.

“Aku sadar jelas dengan apa yang aku katakan. Aku akan mengambil jalan sendiri,” jawabku tegas.

“Ya udah, terserah kau ajalah. Percuma saja aku mendoktrin pikiranmu agar kau berubah pikiran,” jawabnya pasrah.

“Oke. mulai sekarang kita tidak usah berhubungan lagi ya!” tawarku.

“Haa? Kenapa kau bisa bilang seperti itu?” tanya dia.

“Aku tidak tahu, tapi aku harus melakukan itu agar aku bisa taubat dengan murni karena diriku sendiri untuk-Nya.” jelasku.

“Heeemmm.”

“Aku tahu kita akan bersedih atas hal ini, tapi kita harus berkorban agar kita bisa lebih dekat dengan-Nya dengan jalan yang kita ambil oleh diri kita masing-masing,” tambahku.

“Iyaa.. ga usah dilanjut lagi,” jawab Ina sembari menangis dan mengakhiri teleponnya.

Aku bingung dengan apa yang harus kulakukan. Mungkin kejadian ini telah mengubah keadaan yang sebenarnya seperti angin sepoi-sepoi, berubah menjadi angin topan yang meluluhlantakkan apa pun yang dilewatinya. Aku tahu ini berat, tapi tak apalah, aku yakin akan terlukiskan pelangi yang indah setelah hujan deras.

Aku yakin Ina sangat kecewa dengan apa yang aku katakan, bagaimana bisa seorang yang membuatnya hatinya tertarik telah mengeluarkan kata-kata yang kurasa manis, tapi berasa pahit menurutnya.

Namun, inilah jalan yang kuambil untuk taubat. Malam semakin larut, dalam kedinginannya ada sebuah gejolak antara dua orang yang sebenarnya saling tertarik seperti magnet, akhirnya harus terlepas karena panasnya suasana.

Akhirnya aku berpikir keras tentang hal apa saja yang harus aku lakukan setelah ini. Terutama membuktikan kata-kataku tadi tentang pertaubatanku.

Tak berapa lama seiring kabut turun aku menemukan jawabnya. Kemudian aku kembali ke kamarku dan bersiap untuk tidur. Di kamar sudah tergeletak Jhony dan Sony. Aku tidak tahu dua orang lagi di mana, yaitu Kang Fatih dan Kang Sodiq yang notabene adalah semester atas yang sibuk dan memang jarang pulang pondok. Tak lama kemudian aku menyusul tidur.

***

Selasa, 21 Desember 2021. tepat tiga bulan sudah aku tidak berhubungan lagi dengan Ina sejak kejadian itu, aku merasa bersalah atas semuanya. Aku memakan mentah-mentah apa yang dikatakan orang lain, tanpa melihat sisi lain dari apa yang dia lakukan kepadaku. Memang benar, selama tiga bulan ini aku sudah biasa dengan hal yang namanya ibadah, bahkan rasanya enteng tanpa harus diingatkan siapa pun lagi.

Malamnya aku menyempatkan diri untuk menuliskan WA untuknya, yang isinya.

Assalamu’alaikum…

Wahai penuntunku.

Aku tidak tahu ini salah atau benar untuk diucapkan, namun hatiku berkata harus mengucapkan ini

Kau tahu, tiga bulan sudah terlewat dari misi kecilku

Semua seperti aliran air, berjalan sesuai alur yang telah terencana

Namun, aku melupakan sesuatu

Bagaimana bisa aku lupa siapa pembuat alur itu

Sehingga alur itu bisa teraliri oleh air dan berjalan lancar

Kemudian, apakah kau ingat 3 bulan lalu

Ketika embun yang seharusnya terasa sejuk berubah menjadi terasa menggerahkan.

Ketika angin yang seharusnya waktu itu angin sepoi-sepoi

Berubah menjadi angin topan yang merusak

Memang, terlalu lama aku menyadari itu

Akan tetapi, adakah besi yang telah patah bisa disatukan kembali?

Adakah pelangi setelah hujan badai?

Kuharap semua itu ada

Dan aku ingin memperbaiki dan memasang puzzle yang dulunya pernah aku buat kocar-kacir Mungkin cukup itu saja yang ingin aku ucapkan

Sekali lagi, semua itu terserah dirimu, Na

Apakah kau ingin memaafkanku kemudian kita melanjutkan rencana kita dulu yang kau anggap seperti roda sepeda yang saling mendukung untuk mencapai tujuan, ataukah kau memilih tawaranku untuk menjadi seperti magnet yang sama arah kutubnya, yang mana sama mempunyai tujuan akan tetapi tetap bermusuhan dan tidak mau bersatu.

Dan ataukah kau tidak memaafkanku lagi

Terima kasih,

Wassalamu’alaikum….

‘Ting ting… ting ting’ suara handphone Ina berbunyi.

Dengan sigap Ina membaca WA tersebut. alangkah terkejutnya dia ketika membaca WA di handphone-nya. Dia agak terkejut, tersentuh, dan sekaligus senang.

Bagaimana bisa laki-laki yang dulunya dia anggap sebagai orang menyakiti dirinya telah berubah mengorbankan keidealisannya hanya untuk meminta maaf dan memberikan pilihan untuk “memutar waktu” agar mereka menjalani sebuah misi pribadi masing-masing dalam kesatuan di jalan-Nya.

Lantas Ina menjawab WA -nya.

Wa’alaikum salam..

Telah kubaca isi WA-mu, Kang…

Terima kasih, kau bisa memasang semua puzzle itu kembali

Aku tidak tahu harus menulis apalagi, semua sudah terangkum dalam kedamaian hatiku

Jika kau memberikan pilihan terserah, maka aku akan lebih memilih rel kereta api, di mana kau adalah sisi yang kiri dan aku yang kanan, karena kita pasti saling mendukung dan berjalan sejajar di jalan-Nya serta jarang sekali untuk bertemu dan berinteraksi, kalau pun bertemu dan saling berinteraksi pasti butuh jarak dan upaya yang ekstra, dalam hal ini adalah masa dan waktu ke depan yang tidak bisa kita tebak.

Bagaimana menurutmu, Kang? Aku ingin kita berta’aruf dan saling mengingatkan untuk berjalan di jalan-Nya

Membaca WA itu rasanya aku lega, dan kubalas:

“Terima kasih, aku akan menyetujuinya dengan senang hati,” setelah itu kami membicarakan sesuatu sampai larut.

Saat itulah bulan purnama tersenyum melihat kejadian dua insan berinteraksi seolah-olah mereka bisa melewati masa ke depan dengan mulus. padahal jika bulan berbicara dia akan mengatakan. “Berhati-hatilah, ini masih terlalu dini, akan ada hal berat yang menunggu kalian, persiapkan diri kalian baik-baik. Cinta tak selamanya indak dekkk

~End~

Karya : M. Badaruddin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *