Esai

Mengenal Sosok Abah Kiai Masyrochan

Abah Kiai Masyrochan ialah sosok Kiai pendiri Ponpes Durrotu Aswaja, Gunungpati. Berawal dari mengajar ilmu agama di Musala sebelah timur PonPes Durrotu Aswaja sekitar tahun 1990. Beliau sendiri merupakan ulama yang berasal dari Demak. Sebanyak 30 santri menemani awal masa perjuangan beliau mengajar di ndalem pada tahun 1992. Dengan diwakafkannya tanah milik Bapak Dahlan (mertua beliau) dan Bapak Slamet, dibangunlah gedung pondok yang sekarang menjadi bangunan pondok putri. (Sumber: Panitia Masa Ta’aruf Santri 2017)        

Mengenai bagaimana sosok abah sendiri, untuk kalangan santri yang masuk pada angkatan tahun 2016 hingga sekarang mungkin hanya bisa melalui cerita dari santri terdahulu. Seperti beberapa kenangan para santri ketika nyantri di Durrotu Aswaja yang berikut ini; “Perihal khidmah, Abah itu sosok yang tegas–perihal ngaji juga sama. Kalau nggak mau ngaji ya mending ngajar. Kalau mau boyong, jangan pindah kos, tapi pindah pondok. Itupun jika dirasa ngaji kitab di Aswaja sudah biasa,” terang Kang Hasan (alumni angkatan Sahaja). Menurutnya, dibalik ketegasan Abah, selalu ada rasa kasih sayang yang selalu dikenang para santri. Tidak jarang, saat mengaji bandongan, beliau selalu mendoakan para santri secara khusus maupun umum.

Hal lain yang terkenang oleh Kang Hasan mengenai sosok Abah ialah kedermawanan beliau. Dimana suatu ketika, beliau kerawuhan tamu yang membutuhkan uang. Apakah beliau menolak? Tentu saja tidak, dengan baiknya beliau memberikan uang yang diminta. Bahkan disaat tamu yang sama datang kembali dengan tujuan yang sama, beliau tetap memberikan seperti yang tamu tersebut pinta. Betapa dermawannya beliau.

 “Mengenai bagaimana rajin beliau mengaji, Abah tidak hanya senang mutholaah kitab, tetapi juga senang menulis. Banyak kitab hasil karya beliau yang masih dalam bentuk tulisan tangan beliau, sepengetahuan saya, tidak hanya berbahasa arab, tetapi ada juga campuran pegonnya,” ucap Kang Hasan.     

“Tetapi, dari sekian kenangan saya mengenai abah, yang paling berkesan bagi saya adalah, bagaimana ketika saya berdua dengan Abah, entah ketika nderekke beliau mencari kikil tau sekedar jalan-jalan pagi. Di saat momen seperti itulah yang saya benar-benar manfaatkan semaksimal mungkin untuk berinteraksi dengan beliau. Satu dhawuh beliau yang saya ingat ialah ‘Tidak semua kata-kata yang terlihat sombong itu sombong. Jika fakta dhohirnya memang begitu, itu bukan sombong. Sebab sombong itu penyakit bathin, tidak bisa lewat kalimat kok dihukumi sombong’” lanjut Kang Hasan. Intinya, menurut Kang Hasan bagaimana sosok Abah di matanya ialah tentang khidmah dan mengaji.

Kenangan lain yang membekas mengenai Abah juga berhasil ter-rekam oleh santri lain, mengenai bagaimana beliau yang sangat sabar dan bijaksana dalam menghadapi berbagai cobaan. “Abah Yai memiliki kepekaan yang sangat tajam. Bahkan pernah satu waktu, pada saat penerimaan santri baru saya dengan kemampuan otak saya, matur, ‘Abah, kapasitas pondok sepertinya sudah penuh, kalau masih terus menerima santri sepertinya sudah mboten cukup’. Beliau dengan sangat bijak dawuh, ‘Bayangkan Pak Mirza, ada wali santri datang dari jauh, ingin memondokkan putra – putrinya kok tidak diterima. Kira – kira apik apa ora?’. Jawaban yg menggambarkan betapa sangat bijaksananya Beliau.” Ujar Kang Mirza dalam tulisannya yang di unggah dalam akun facebook pribadinya dengan judul, Sugeng Tindak Abah Yai.

Selain di kalangan santri putra, kenangan mengenai abah juga membekas di kalangan santri putri. Mba Muthia (Santri Aswaja) menceritakan bagaimana kedamaian dan kebahagian santri putri setiap kali sowan beliau, beliau keluar dari ndalem kemudian bertanya, “pie nok ayu?”. Sekelumit kalimat yang ketika keluar dari beliau kemudian menentramkan hati para santri yang mungkin ketika sebelum sowan sudah diselimuti berbagai kekhawatiran, ketakutan, kegalauan dan rasa gelisah lainnya. Namun, sedikit kalimat tanya beliau, menghilangkan semua perasaan kalut para santri, layaknya ketentraman yang diberikan seorang ayah kepada putrinya.

Satu lagi mengenai Abah yang dikenang oleh santri, bahkan ketika santri tersebut hanya mendengar dari cerita santri senior, ialah mengenai kebaikan beliau yang masih bisa dirasakan hingga saat ini. “Saya tahu mengenai Abah hanya dari orang lain, tetapi yang saya tahu sendiri itu, bahwa beliau itu benar-benar Ulama, benar-benar Kiai, bener-bener Waliyullah. Dari mana saya tahu? Dari setiap hal sepeninggal beliau hanyalah kebaikan, pengaruhnya luar biasa, contohnya: banyak yang mendoakan beliau, pondok semakin berkembang pesat, santri semakin banyak, dan setelah beliau wafat tidak ada cerita mengenai beliau selain hanya tentang kebaikan. Lebih khususnya, banyak yang menziarahi makam beliau. Baik buruknya seseorang itu jelas terlihat setelah sepeninggalnya orang itu. Dan Abah, hanya kebaikan yang ada setelah sepeninggal beliau.” cerita dari Kang Afif (Santri angkatan Mumarosah).

Betapa mulianya sosok Abah Yai, guru kita. Semoga dari apa yang telah diceritakan oleh beberapa santri bagaimana sosok Abah dapat membantu kita semakin mengenali bagaimana sosok Abah, semakin cinta beliau dan juga menjadikan pengingat untuk kita selalu berbuat baik layaknya yang sudah diajarkan beliau.

Penulis: Nur Jannah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *