
Selasa Kala Itu
Selasa tanggal 5 Dzulhijjah 1443 bercerita untuk Selasa tanggal 5 Dzulhijjah 1441 lewat sudut pandang seorang santri biasa.
Pagi kala itu tidak ada yang berbeda dari pagi biasanya. Udara segar jalan pantura di pagi hari menemani segerombolan santri yang sedang menunggu tunggangan menuju sekolah.
Matahari begitu hangat tak mengisyaratkan sebuah kesedihan.
Gotrek antar-jemput santri itu melesat cepat bak roller coaster. Pantas saja, banyak santri menyebut sopir kendaraan itu dengan julukan “pakdhe coaster”. Sebab, sang pengendara sudah lama mengabdikan dirinya bertahun-tahun di pondok itu.
Jam pelajaran pertama sampai bel istirahat memang waktu yang efektif untuk belajar.
Namun, pagi itu didukung dengan rasa dehidrasi yang muncul membuat matanya tak tahan untuk terbuka, biar saja, bukannya tidur orang puasa itu ibadah?
“Nanti kalau diabsen, bangunkan aku ya” Katanya kepada teman sebangkunya.
Tempat duduk yang strategis berada di pojok belakang kelas yang membuatnya krasan di tahun ketiganya ini.
Lama terlelap, tidurnya itu sebuah pelampiasan karena tidur malamnya yang sangat kurang.
Entah karena lelah atau memang doyan tidur, sampai-sampai bel istirahat tak mampu membangunkannya.
Tak lama, teman sebangkunya itu menggoyangkan tubuhnya yang sedari tadi tak ada pergerakan.
“Bangun o, diluk ngkas moro mushola, pelajarannya Ning Alya”.
“Iyo iyo, nk meh mrono bareng.” Ucapnya dengan mata yang masih terpejam.
“Yo wes, aku tak jajan sek. Ojo turu meneh to.”
Teman sebangkunya yang kesal lantas meninggalkan dirinya yang tak mau dibangunkan.
Tidur menjadi pilihan sebagian santri saat istirahat. Memang benar, Keadaan kelas menjadi sunyi dan sepi saat istirahat karena sebagian penghuninya pergi ke kantin, dan sebagian lainnya memilih tidur.
Tepat sebelum bel masuk berbunyi, seorang santri lari terbirit-birit dari lantai satu menuju kelas yang ada di lantai 3 gedung itu.
Sesampainya di depan pintu, dia terbungkam, tetapi air matanya mengalir deras.
“Rek! Yai kapundhut”.
Keadaan kelas yang sunyi terpecahkan oleh satu kalimat.
Matanya yang seperti disolasi itu tiba-tiba terbelalak.
Di dalam tubuhnya seperti ada yang tercabik. Sakit. Namun tak bisa diungkapkan.
“Jare sopo? Ojo mbodon!”
Amarahnya tersulut. Sebenarnya memang ada satu hal yang belum terpenuhi selama ia di pondok itu.
Sebuah hal yang sangat ia idam-idamkan. Mencium asto sang Yai, ngalap berkah dan ridhonya yang belum ia rasakan di Idul Fitri kemarin.
Niatnya memang tahun depan, tapi apakah niat bisa menghalangi malaikat untuk mencabut nyawa seseorang? Tentu tidak.
Itu sudah terlambat.
Kakinya lunglai saat ia tak menemukan kebohongan di mata temannya.
Ia berjalan menuju depan kelas dan melihat lapangan sekolah sudah ramai oleh santri-santri yang sedang menangis.
“Ini benar?” Ucapnya pada dirinya sendiri.
Air matanya masih belum bisa menetes meskipun sudah menggenang dipelupuk.
Seseorang berjalan menuju ke arah ia berdiri, melihatnya sedang kebingungan.
“Ik? Ayo” Ajak Mila, sahabatnya.
“Kabar itu bohong, kan? Aku salah dengar kan?”
Tidak ada jawaban, hanya diam yang ia dapatkan. Artinya, kabar Yai kapundhut memang benar.
Tubuhnya lemas, ia jatuh tersungkur. Hari itu dengan banjiran air mata menjadi pangkal penyesalannya.
“Gene Mil? Aku durung sempet salim Yai. Aku durung sempet nyuwun ridhone Yai. Santri koyok opo aku iki, mil?”
Mila memeluknya erat karena tangisnya pecah tak tertahankan menyalahkan dirinya sendiri.
“Sudah, Ik. InsyaAllah Yai ridho, jika kita mendoakan beliau. Ayo turun ke bawah bergabung dengan yang lain. Doa untuk Yai, ya? Semoga kita bisa diakui sebagai santri beliau.”
Tangisnya masih belum selesai.
Tapi Mila memang benar, berdoa untuk beliau juga termasuk bukti rasa cinta.
Lantunan surah Yasin dan tahlil menggema bukan hanya di langit pantura kala itu, tapi seluruh langit di penjuru bumi ikut mendoakan sang Kyai menghadap Rabbnya.
Penyesalan seringkali datang terakhir, sebagai manusia kita hanya dapat memperbaiki agar hal yang serupa tak terulang kembali.
Sebagai seorang santri biasa, ia berharap semoga dengan lantaran surah Al- Fatihah, ia bisa menjadi barisan orang-orang yang mencintai Kyainya sekaligus beliau kerso untuk mengakuinya sebagai salah satu santrinya.***
oleh: Nazilatul Ikrimah
