
Sate dari Abi untuk Aku yang Akan Merantau
Sajadah biru yang kupakai pagi ini terlihat seperti baru, mungkin karena baru dicuci oleh Umi kemarin karena akan kubuat sholat Idul Adha hari ini. Sholat Id tahun ini sedikit berbeda karena akan menjadi sholat Id terakhir dengan statusku sebagai anak rumahan. Ya, seminggu lagi aku akan menjadi anak rantau.
Aku merupakan anak pertama dari 4 bersaudara dengan dua adik perempuan dan satu adik laki-laki yang merupakan anak terakhir. Aku lahir di kota ukir, Jepara. Dan sebentar lagi akan merantau ke kota apel, Malang. Hal ini untuk melanjutkan studiku kejenjang sarjana dan harus meninggalkan kota kelahiranku beberapa tahun ke depan.
Seperti tahun sebelumnya, setelah sholat Id keluargaku menyembelih hewan Qurban. Jika tahun lalu menyembelih dua kambing yang diqurbankan atas nama Abi dan Umi, tahun ini keluarga kami diberi rezeki untuk menyembelih empat kambing yang diatasnamakan aku beserta adik-adikku.
“Nanti Abi ambil sebagian jatah sepertiga kita untuk nyate bareng nanti malam, sisanya biar dibagikan semua.” Ucap Abi kepada Umi.
“Siap Abi, Umi akan menyiapkan peralatan nyate untuk nanti malam, tentu saja dibantu Nabila dan adik-adik.” Jawab umi sambil melirikku.
“Iya, Abi dan Umiku sayaaaang.” Jawabku.
Aku dan Umi meninggalkan Abi yang sedang bisik-bisik dengan bapak penjagal.
Siang hari, seluruh daging sudah selesai dibagikan. Aku dan Umi menyiapkan peralatan untuk nyate nanti malam dibantu adik-adikku, ada yang memotong cabai dan membuat bumbu. Kalau aku sendiri, fokus memotongi daging menjadi kecil-kecil agar matang nanti ketika dibakar.
“Jangan kecil-kecil ya, Kak, motongnya. Karena nanti akan dikasih nanas.” Umi memperingatkanku.
“Kenapa Umi? Nanti kalo besar-besar gak mateng dong. Terus nanas untuk apa?” Tanyaku pada Umi.
“Dinanas kan ada enzim Bromelinnya, Kak. Itu dapat mendegradasi protein, nanti daginya jadi empuk, kalau Kakak motongnya kecil-kecil nanti dagingnya hancur. Kalau Kakak sudah kuliah pasti tau.” Jelas umi panjang lebar sambil menegaskan nanti kalau aku kuliah akan dijelaskan materi tersebut.
Ya, tidak bisa dipungkiri karena nantinya aku akan mengambil Jurusan Teknologi Pangan.
Sholat Isya berjamaah sudah dilaksanakan. Semua sudah bersiap untuk nyate bareng dengan seragamnya masing-masing. Abi dan si Bungsu dengan kaos dan sarungnya. Aku, Umi, dan adik perempuanku menggunakan seragam memasak seperti biasa. Kami nyate bareng di depan rumah. Arang, pemanggang, tusuk sate, dan semua peralatan sudah siap di halaman.
Sebelum membakar sate, kami menusuki daging bersama-sama di halaman rumah. Aku diapit oleh Abi dan Umi. Si Bungsu berada disebelah Abi dan adik-adik perempuanku di sebelah Umi. Kami membentuk lingkaran dan di tengahnya bahan-bahan sudah siap untuk dieksekusi. Kami bekerja sambil bersenda gurau, ngobrol ngalor-ngidul, dan sampai akhirnya Abi berbicara dengan nada khas beliau.
“Kak Nabila akan Abi buatkan satu sate khusus untuk Kak Nabila dan Kakak harus ingat ini ketika Kakak merantau nanti, mohon diperhatikan dan didengarkan.”
Semua pandangan langsung tertuju pada Abi dan Aku.
“Baik bi.” Jawabku.
Pertama, aku melihat Abi mengambil potongan hati untuk ditusukan pertama kali.
“Kak, jika Kakak nanti merantau, ingatlah hukum agama Islam yang sudah Kakak pelajari. Jadikan itu pegangan untuk menjadi timbangan antara yang baik dan buruk. Laksanakan apa yang diperintahkan oleh agama dan tinggalkan apa yang dilarang agama. Ingatlah, walaupun Abi dan Umi nantinya tidak bisa memantau Kakak, ada Allah yang selalu melihat perbuatan Kakak.”
Kemudian Abi mengambil sebuah daging dan ditusukkan menjadi bagian sate yang selanjutnya.
“Kak, di rantau nanti ada banyak sekali hal-hal baru yang tentunya Kakak akan sangat tertarik untuk mencobanya. Maka dari itu, Kakak harus memiliki prinsip yang kuat agar tidak terbawa arus. Jika diibaratkan prinsip adalah sebuah tali yang dapat Kakak pegang nantinya sehingga Kakak dapat mengendalikan diri diberbagai situasi.”
Selanjutnya, Abi mengambil sepotong lemak yang ditusukkan menjadi bagian sate yang ketiga.
“Kak, di tanah perantauan, tentu Kakak akan bertemu dengan banyak orang yang memiliki beragam sifat dan karakter. Adakalanya, Kakak bertemu dengan orang yang memiliki pembawaan tenang. Namun, adakalanya pula Kakak akan berhadapan dengan orang berwatak keras dan berperilaku menjengkelkan. Ketika sedang berjuang di tanah perantauan, menjaga sikap dan tingkah laku merupakan hal wajib yang tidak boleh diabaikan. Jangan sampai Kakak gampang terpancing apalagi sampai membuat ulah. Tetaplah jadi pribadi yang sopan, beretika, dan selalu mengedepankan perilaku mulia.”
Kali ini, Abi mengambil potongan tomat yang dijadikan bagian tusukan sate yang keempat.
“Kak, setiap tempat memliki karakteristiknya masing-masing. Bahkan bisa dipastikan Kakak akan menemui beragam perbedaan. Entah itu dari sifat dan karakter orang-orangnya, adat istiadat dan budayanya, bahkan sampai dalam hal bahasa sekalipun. Berada dalam kondisi tersebut, sikap saling menghargai perlu Kakak tumbuhkan. Menghargai bukan berarti Kakak harus menumbangkan apa yang menjadi prinsip Kakak untuk mengikuti seluruh budaya dan kebiasaan mereka. Namun, yang dimaksud dengan menghargai adalah Kakak mau mengerti satu sama lain, tidak mencela, dan juga tidak mengolok apa yang menjadi kebiasaan mereka.”
Tanpa jeda dariku atau dari yang lainnya, Abi mengambil potongan otak yang kali ini sedikit susah untuk ditusukan menjadi bagian yang kelima.
“Kak, tanah perantauan ibarat kehidupan baru yang penuh kejutan. Selalu ada pengalaman baru yang akan Kakak temui. Berada dalam kondisi tersebut, jangan kaget apabila Kakak akan berhadapan dengan segala kebiasaan yang benar-benar berbeda dengan apa yang menjadi kebiasaan Kakak disini. Sebagai anak rantau nantinya, Kakak tidak perlu memaksakan diri untuk mengikuti semua kebiasaan tersebut. Satu-satunya hal yang harus Kakak lakukan adalah belajar menjadi orang yang berpikiran terbuka. Dengan menjadi sosok yang ‘open minded’, maka Kakak akan lebih mudah beradaptasi dan menempatkan diri di antara perbedaan yang ada.”
“Ini sate spesial buat Kakak.” Lanjut Abi.
Ternyata, Abi sudah selesai dengan sate buatannya yang spesial dibuat untukku.
“Terimakasih Abi, Kakak akan selalu mengingat sate ini.” Jawabku yang mengingat urutan sate tersebut: hati, daging, lemak, tomat, dan otak.
Dan dilanjutkan dengan nyate bareng. Kami sekeluarga sangat bahagia malam ini. Sampai waktu menunjukan pukul sepuluh malam, aku dan adikku kembali ke kamar kami masing masing-masing. Dengan aku yang masih memikirkan wejangan-wejangan yang diberikan oleh Abi tadi.
Paginya, aku menemui Abi dan bertekad mengutaran isi hatiku yang sudah aku pendam beberapa hari, ditambah wejangan beliau malam tadi.
“Bi, Kakak mau kuliah sambil mondok di Pondok pesantren, boleh? Sepertinya, dengan di Pondok pesantren Kakak bisa dengan mudah mendapatkan ‘sate’ yang Abi maksud tadi malam.”
Dengan senyum dan mata berbinar, Abi menjawab pertanyaanku.
“Alhamdulillah Kak, tentu boleh, dan Abi sangat senang.”
Oleh: RifaiBig

