Cerpen

Lelah

Bel pulang sekolah SMA Bina Bangsa sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu, tapi Riri masih sibuk membereskan barang-barangnya. “Udah belum? Pulang sekarang yuk,” ajak teman sebangkunya yang sudah menunggu sejak tadi. “Hehe, udah. Tapi aku laper,” jawab Riri tanpa malu. “Tenang, nanti makan dirumahku sepuasnya. Hahaha” Lalu mereka tertawa bersama.

Mereka berjalan beriringan menuju parkiran kendaraan, karena hanya Riri yang membawa sepeda motor maka ia selalu mengantar sahabatnya pulang lebih dulu.  Hal itu sudah menjadi kebiasaan sejak mereka menjadi teman sebangku. Persahabatan mereka yang sudah terjalin tanpa sengaja dan kemudian saling melengkapi satu sama lain membuat mereka semakin dekat seperti keluarga. Setiap kali Riri mengantarkan Fia, pasti ibu Fia menyuruh Riri makan sebelum pulang. Karena keluarga Fia sudah sangat dekat dengan Riri mereka menganggap Riri seperti anak sendiri.  

Setelah selesai makan dan sedikit berbincang-bincang dengan orang tua Fia, Riri pamit pulang. Matahari telah tenggelam, sebentar lagi akan berganti malam sehingga ia memutuskan untuk segera pulang. Di rumah sudah ada yang menantinya dengan sabar.

Ahmad, adik laki-laki Riri yang selalu setia menunggunya pulang. Mereka hanya tinggal berdua, sepasang adik kakak yang jauh dari orang tua. Dua saudara yang seringkali bertengkar, adu pendapat setiap saat, dan juga kenakalan Ahmad yang sering kali membuat Riri marah. Meski demikian, mereka saling menyayangi satu sama lain.

Setiap hari Riri harus bangun pagi-pagi untuk menyiapkan makanan sebelum berangkat sekolah. Awalnya bukan hal yang mudah tetapi karena sudah lama lambat laun menjadi terbiasa. Masak, mencuci piring, membereskan rumah adalah kegiatan rutinitasnya. Setelah semuanya beres, ia mulai menyiapkan diri untuk berangkat sekolah. Tapi sebelum itu, dia harus membangunkan adik laki-lakinya, Ahmad. Butuh waktu yang lama dan tenaga ekstra karena Ahmad memang tukang tidur. Tentu saja ia tidak menyerah dan terus mencoba menggoyangkan tubuh adiknya, jika tidak bangun pasti terlambat sekolah. “Dek, bangun! Udah siang,” perintahnya dengan tegas. “Bentar, mbak. Masih ngantuk,” jawabnya sambil masih menguap. “Terserah, mbak capek bangunin kamu nanti telat jangan salahin mbak ya,” kata Riri dengan nada galak.

Kemudian ia meninggalkan kamar adiknya dan melanjutkan untuk persiapan sekolah. Setelah selesai mandi, ia mengecek lagi apakah adiknya sudah bangun atau belum. Ternyata Ahmad masih meringkuk diatas tempat tidur. “Heh, bangun, dek! Kalau gak bangun mbak siram air ya,” Riri berbicara dengan nada mengancam.

“Iya, ya mbak ini bangun,” jawabnya dengan nada malas. “Buruan mandi, nanti berangkat bareng mbak.”

Sekolah Ahmad sangat dekat dengan rumah, bisa dijangkau hanya dengan jalan kaki tapi karena searah dengan sekolah Riri maka setiap pagi mereka berangkat bersama. Adiknya duduk dibangku sekolah menengah pertama. Setelah mandi dan sarapan bersama mereka siap untuk berangkat sekolah menuntut ilmu.

Riri merupakan siswa yang cerdas, ia selalu mendapat peringkat tiga besar di kelasnya. Meskipun dengan kesibukannya mengurus rumah ia selalu menyempatkan waktu untuk belajar. Dan ia juga memiliki teman-teman yang selalu mendukung dan memberinya semangat.

Pagi itu, jam pertama adalah matematika. Mata pelajaran favorit Riri karena ia suka berhitung dan mencoret-coret. Tapi entah kenapa pagi ini tidak seperti biasanya. Pak guru yang biasanya langsung memulai pembelajaran dengan memberikan materi dan penjelasan, kali ini berbeda. Beliau mengeluarkan LCD dan mengeluarkan laptop. Beliau mengatakan akan memutar sebuah video, para siswa diminta untuk  menyimak dengan seksama. Siswa di kelas itu sangat penasaran, video apa yang akan diputar, mereka memperhatikan layar yang ada di depan dengan penuh perhatian, termasuk Riri.

Beberapa saat kemudian video diputar, menampakkan seorang gadis kecil yang sedang makan di ruang makan. Gadis itu makan dengan  malas karena ia hanya sendirian. Terlihat muram wajah gadis kecil itu, ia seperti menahan kesedihan mendalam. Tanpa menghabiskan makanannya kemudian ia pergi begitu saja. Ia menghampiri ayahnya di kamar. Ayahnya sedang sibuk menelfon seseorang untuk mengerjakan pekerjaan kantor.

“Ayah, Lia mau beli mainan,” pinta gadis itu pada ayahnya dengan sedikit merengek. “Apasih Lia, kamu bisa beli mainan sendiri kan, kamu tidak lihat ayah sedang sibuk.” Dengan nada marah ayahnya menjawab permintaan Lia. Wajah Lia langsung terlihat muram, tapi dia tidak menyerah. Kemudian ia menanyakan sebuah pertanyaan yang membuat ayahnya keheranan.

“Ayah, dalam satu hari ayah digaji berapa di kantor?” tanya Lia dengan wajah polosnya.

“Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan gaji ayah, Lia. Aneh-aneh saja kamu. Tentu gaji ayah sangat besar,” jawabnya dengan nada kesal.

Adegan tersebut membuat Riri penasaran, untuk apa gadis kecil menanyakan gaji orang tuanya. Ia berpikir bahwa anak itu ingin minta uang jajan pada ayahnya. Dia menyimak dengan baik video tersebut tanpa mengalihkan perhatian pada yang lain karena takut tertinggal percakapan selanjutnya antara gadis itu dengan ayahnya.

Dalam video menampakkan gadis itu lari keluar dari kamar ayahnya. Ternyata ia ke kamarnya sendiri. Ia seperti mencari-cari sesuatu dan setelah menemukan apa yang dicari, wajahnya berbinar. Celengan, itulah benda yang ia cari. Dengan cepat ia membuka celengan tersebut, ia hitung uang yang ada di dalamnya. Tidak banyak, tapi hanya itu yang ia punya.

Dengan wajah berseri, Lia kembali lagi ke kamar ayahnya dengan membawa uang tersebut. “Ayah, dalam satu jam ayah digaji berapa di kantor?” tanya gadis itu lagi. “Kenapa sih kamu tanya terus, ayah tidak punya waktu untuk meladeni kenakalanmu.”

Wajah Lia langsung berubah, ia terlihat sedih, matanya berkaca-kaca. “Ayah, Lia memang tidak punya uang. Hanya ini yang Lia punya,” tutur gadis itu sambil menunjukkan uang celengannya tadi. “Lia tidak tau berapa gaji ayah, tapi apakah ini cukup untuk mengganti uang ayah selama satu jam di kantor. Lia tidak butuh uang ayah, Lia hanya butuh ayah menemani Lia bermain, membacakan dongeng sebelum Lia tidur, makan bersama dengan ayah. Lia tidak minta apapun, Yah. Lia hanya ingin menghabiskan waktu dengan ayah.” Panjang lebar gadis itu menjelaskan pada ayahnya tentang keinginannya.

Belum selesai video diputar, Riri sudah tidak sanggup menahan air mata. Hatinya terasa sakit. Air matanya terus mengalir tanpa henti hingga membasahi pipinya. Ia tidak sanggup melanjutkan, ia berlari ke kamar mandi untuk menenangkan diri. Dikeluarkannya semua air mata yang selama ini tertahan. Dadanya terasa sesak mengingat semua hal yang terjadi dalam hidupnya.

Mulai dari dirinya yang harus hidup mandiri tanpa didampingi orang tua, dia harus bersusah payah mengatur pekerjaan rumah dengan kegiatan sekolah. Ingin rasanya ia mengeluh dan menukar hidupnya dengan kehidupan orang lain. Orang lain yang bisa berkumpul dengan keluarga lengkap tanpa harus terpisah oleh jarak. Terbesit dalam benaknya, berapa uang yang harus ia hasilkan untuk bisa mengganti waktu yang telah berlalu. Tapi itu tidak mungkin.

Disaat teman-temannya mengeluh karena disuruh makan, ditanya banyak hal, diomeli karena pulang telat. Riri sangat berharap ia bisa mendapatkan semua perhatian itu. Karena sepulangnya dari sekolah, tidak ada suara ibu yang menyambutnya. Tidak ada yang bertanya apakah sudah makan atau belum. Tidak ada yang bertanya apa saja yang dilakukan hari ini. Tidak ada yang memarahinya ketika pulang terlambat. Tidak ada yang bertanya apakah dia lelah atau tidak.

Riri sangat merindukan keluarganya, ibu, ayah, dan kakak-kakaknya. Perhatian dan kasih sayang yang biasanya tercurahkan, kini harus dipisahkan oleh keadaan. Dia hanya bisa menangis dalam diam. Membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan dan kerinduan setiap malamnya.

Lelah. Itulah yang dirasakan. Bukan hanya fisiknya tapi juga hatinya. Ia menyembunyikan setiap rasa lelah dengan tetap tersenyum ceria di depan teman-teman. Ia tidak ingin orang lain mengetahui apa yang ia rasakan. Ia mengerti bagaimana rasanya kesepian ketika sendirian dan tidak ada siapapun yang mengerti, ia tidak ingin orang lain merasakan hal yang sama. Karena itulah ia tidak menampakkan kesedihan pada siapapun.

Ahmad, alasan terbesarnya untuk menjadi kuat. Dia tidak boleh terlihat lemah di depan adiknya. Harus bisa menjadi sosok ibu, ayah, dan kakak yang baik untuk Ahmad. Ia tidak ingin adik tersayangnya merasa kekurangan kasih sayang. Ia ingin adiknya tumbuh menjadi pribadi penyayang dengan terus memberikan perhatian sekecil apapun itu padanya.

Satu hal yang diyakininya, bahwa semua akan indah pada waktunya. Entah seberapa berat cobaan dan rasa sakit yang harus ditanggung, ia tidak pernah berhenti percaya. Ketika tiba saatnya, ia pasti akan bahagia. Hanya jangan pernah menyerah, ketika segalanya terasa amat lelah. Berhenti sejenak untuk mengistirahatkan hati dan pikiran. Dan setelah semuanya baik-baik saja, lanjutkan kembali apa yang telah dimulai. Ada orang-orang disekelilingnya yang menyayanginya dan ada orang-orang yang harus ia buat bangga.

Bionarasi

            Terimakasih pembaca yang sudah menyempatkan waktu. Aelius merupakan nama pena dari Tri Sundari. Mahasiswa jurusan Bahasa yang lahir pada 19 November. Melalui karyanya ia berharap dapat menghibur dan memberikan pesan moral pada pembaca.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *