
Nyala
Malam itu, satu malam yang pekat di Jawa Timur. Seperti malam-malam biasanya yang dihiasi bintang dan kelip petromaks di sudut-sudut kampung, suara jangkrik yang bersahutan menandakan akan kedamaian di malam yang belum terlalu larut itu. Ketenangan malam itu berubah sampai lima jeep yang mengangkut pasukan perang berbendera tiga warna itu mengusik kedamaian. Suara jangkrik mulai berganti dengan suara tembakan yang memekak menciptakan kegaduhan.
“Man, tangi!” dengan terburu-buru Guntur membangunkan Paiman yang terlelap dalam dekapan sarung lusuh yang membalut tulang dan kulit hitam santri salah satu Pondok Pesantren di Jawa Timur itu.
“Ono opo to?” Paiman terbangun setengah sadar sembari memahami keadaan yang tengah terjadi di sekelilingnya. Seketika ia terkejut melihat semua santri berlarian mengambil apapun yang bisa mereka gunakan untuk membela diri. Suasana yang sangat berbeda dari 30 menit yang lalu, ketika ia mulai beristirahat setelah seharian mengkaji kitab kuning.
“Pondok diserang Man, ayo tangi! Londo bajingan iku wes ngepung Pondok, Yai ditangkap. Ayo tangi, melu aku!”
Dengan tergopoh dua santri itu berlari menuju pintu belakang pondok karena sudah tidak ada jalan keluar lain.
Pondok Pesantren An Nur salah satu Pondok Pesantren di Jawa Timur itu menjadi incaran pasukan Belanda sejak dua tahun yang lalu, karena Kiai mereka, Kiai Musthofa mulai menanamkan semangat kemerdekaan kepada para santrinya. Setiap hari para santri tidak hanya dididik untuk memaknai kitab kuning dan membaca Al Qur’an, namun mereka juga dibakar semangatnya untuk merdeka, membebaskan diri dari belenggu kolonialisme melalui petuah ataupun cerita yang mampu mengobarkan semangat jihad para santri.
“Iki arep nang ndi?” tanya Paiman kepada Guntur yang hanya diam sejak tadi.
Malam itu sudah berubah menjadi pagi yang legam dengan semburat warna merah nyala api memberangus Pondok Pesantren yang selalu memberikan kedamaian awalnya. Dan sekarang semua telah terbakar oleh ambisi orang-orang Eropa. Namun, bersamaan dengan terbakarnya Pondok Pesantren, terbakar pula semangat jihad dua santri yang lolos dari amukan pasukan Belanda itu.
“Aku duwe rencana kanggo bebaske Yai Man, awak dewe kudu iso mlebu sarang Londo iku piye carane” ujar Guntur dengan tatapan keyakinan.
“Mlebu sarang Londo? Edan tah awakmu, pengen mati?” sungut Paiman.
“Ora ana cara liya maneh Man, pancen saiki pilihane awak dewe nek ora merdeka yo mati.”
“Lah piye carane?” tanya Paiman yang masih ragu dengan langkah yang akan diambil karibnya itu.
“Awak dewe kudu iso kaya Londo iku, kudu iso paham karo opo seng diomongke karo Londo iku, awak dewe kudu iso ngerti strategi opo seng bakal digunakake Londo-londo iku. Awakmu iseh ileng ora karo ngendikane Yai Man arofa lughota qaumin amina min syarrihim, sopo wong sing gelem nyinauni bahasa asing bakal selamat saka kealanane” jelas Guntur.
“Terus opo rencanamu supaya awak dewe iso mlebu sarang Londo iku?” tanya Paiman.
“Aku duwe rencan..”
Kringgggg… kringgggg… kringggggg…
Suara alarm itu membangunkan Aiman yang masih nyaman dalam mimpi yang menjawab kebingungannya sekian lama.
Fita Chusnaya, Santri Durrotu Aswaja yang juga mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UNNES 2021.

